Survei DBS: Inflasi Sebabkan Pergeseran Budaya Konsumsi Masyarakat Indonesia pada 2023-2024
Rata-rata konsumsi per kapita di Indonesia terus meningkat secara stabil setiap tahunnya. Badan Pusat Statistik (BPS) menemukan adanya kenaikan sebesar 3,6 persen dari Rp1,28 juta per bulan pada September 2021 menjadi Rp1,33 juta pada Maret 2022.
DBS Group Research mendapati peningkatan konsumsi masyarakat terhadap produk makanan menjadi 50,1 persen pada 2022 dari yang sebelumnya 49,2 persen pada 2020. Kenaikan ini ditengarai berkat adanya himbauan untuk stay at home guna mencegah penyebaran COVID-19.
Riset ini pun meneliti bagaimana inflasi dan ancaman resesi mengubah pola pengeluaran dan konsumsi masyarakat yang tidak hanya terjadi pada saat pandemi dari 2020-2022, namun juga terlihat pada saat inflasi 2013-2015.
Peningkatan inflasi 8 persen pada Juli 2013 dan Desember 2014 dipicu oleh kenaikan harga Premium dan Diesel pada Juni 2013 dan November 2014. Ini disertai dengan kebijakan Bank Indonesia (BI) untuk menaikkan suku bunga dari 5,75 persen pada Januari 2013 menjadi 7,5 persen pada Desember 2015.
Akibatnya, pengeluaran konsumsi rumah tangga Indonesia menurun dari 5,7 persen pada awal 2013 menjadi 4,9 persen pada akhir 2015. Setelah itu, pola konsumsi bergeser ke produk non-makanan yang meningkat masing-masing menjadi 50 persen dan 52,5 persen pada tahun 2014 dan 2015, dari 49,3 persen di 2013. Hal ini terjadi atas dasar tingginya pengeluaran untuk perabotan rumah tangga.
Tahun 2023 diprediksi menjadi tahun yang gelap karena adanya ancaman inflasi dan resesi yang sudah terdengar sejak penghujung tahun 2022. Risetnya DBS Group Research memprediksi pola konsumsi Indonesia pada 2023 dan 2024. Berikut lima temuan riset DBS Group Research:
1. Ekonomi makro masih tergolong kuat di tengah tingginya angka inflasi
Hal ini berkat adanya relaksasi pembatasan mobilisasi masyarakat di tengah menurunnya angka COVID-19. Ekonomi Indonesia meningkat menjadi 5,7 persen secara tahunan pada kuartal ketiga 2022 dibandingkan dengan 5,4 persen pada kuartal sebelumnya.
Pencapaian ini dipicu oleh pertumbuhan angka investasi, dorongan siklus dari harga komoditas yang tinggi, serta peningkatan permintaan akan restock dan dimulainya kembali kegiatan dalam sektor jasa.
Hal ini membantu mengimbangi dampak penurunan pendapatan riil dari kebijakan pemerintah menaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
Pemerintah juga memperluas subsidi angkutan umum daerah untuk meredam dampak kenaikan harga BBM terhadap daya beli dan memberikan bantuan keuangan bagi rumah tangga berpemasukan menengah ke bawah.
2. Konsumsi akan melambat di 2023 karena meningkatnya angka inflasi
Pada periode 2013-2015 terjadi kenaikan tajam akan harga BBM dan inflasi yang menyebabkan penurunan konsumsi dengan jeda sekitar enam bulan.
Hal serupa diprediksi akan terjadi oleh Ekonom DBS Group Research Radhika Rao yang memprediksi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) 2023 akan bertahan di 5 persen, lebih rendah dari 5,4 persen pada 2022 lalu.
3. Konsumen memiliki kekhawatiran terkait inflasi
DBS Group Research mendapati bahwa kekhawatiran tersebut didasari atas ketakutan akan meningkatnya harga barang dan jasa, terutama harga BBM dan bahan pokok rumah tangga.
Walaupun angka inflasi sudah mengalami penurunan menjadi 5,42 persen secara tahunan pada November (dari 5,95 persen dan 5,71 persen secara tahunan pada bulan September dan Oktober), setengah dari responden mengatakan bahwa kenaikan harga tersebut menambah pengeluaran mereka sebanyak lebih dari 10 persen.
4. Tren inflasi akan berlangsung sampai enam bulan ke depan
Menyikapi hal tersebut, masyarakat akan menyesuaikan kebiasaan pengeluaran mereka dengan kondisi ini. Kebanyakan dari responden lebih memilih untuk lebih banyak menabung atau mengurangi pengeluaran (save more, spend less) dan mencari alternatif barang yang lebih murah. Hal itu akan membuat perlambatan konsumsi rumah tangga pada 2023.
5. Pergeseran tren konsumsi Indonesia di 2023 dan 2024 karena inflasi
Dalam mengubah pola konsumsinya, mayoritas responden memiliki kecenderungan untuk mendahulukan pengeluaran harian seperti belanja bulanan dan BBM, juga keperluan rumah tangga dibanding berlibur atau membeli baju.
Selain itu, responden memilih alternatif produk yang lebih murah dalam kategori pengeluaran harian dan mengurangi frekuensi konsumsi pengeluaran non-pokok seperti rekreasi, makan di luar, dan pakaian.