Strategi Indonesia Cegah Imbas Ketidakpastian Perekonomian Global
Keputusan Bank
Indonesia menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps menjadi 4,75%
sesuai dengan perkiraan. Itu menandai kenaikan sebesar 50 bps untuk kedua kali
berturut-turut, kenaikan ketiga dalam siklus ini dan membuat suku bunga tujuh
hari kembali ke tingkat Februari 2020, secara efektif membalikkan sebagian
besar pemotongan, yang didorong pandemi.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyebut upaya
tersebut sebagai langkah pencegahan di muka. Secara terpisah, kebijakan uang
muka untuk pembelian properti dan kendaraan bermotor diperpanjang hingga
Desember 2023.
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melonggarkan
beberapa ketentuan persyaratan aset penilaian risiko. Sebagai contoh, sejak 1
Maret 2023, Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) untuk kredit kendaraan
bermotor dan sektor kesehatan turun menjadi 50% dari 100%.
Baca juga: Bank Indonesia Kembali Naikkan
BI7DRR 50 Bps Menjadi 4,75%
Tinjauan Ekonomi
Bank Indonesia (BI) menyoroti pertumbuhan ekonomi global
tidak stabil, sementara pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia
diperkirakan berada pada kisaran lebih tinggi, antara 4,5-5,3%.
Pandangan tentang inflasi menjadi kekhawatiran, BI
berpandangan kenaikan harga akibat inflasi akan lebih ringan daripada yang
diperkirakan, dibantu perlambatan kenaikan biaya pangan (kecuali lonjakan
jangka pendek akibat banjir). Survei mingguan menunjukkan, inflasi pada
September 2022 mungkin lebih rendah daripada 5,95% pada Agustus.
Perry memperkirakan inflasi akhir 2022 ditutup pada 6,3%
(jika dibandingkan dengan 6,6% sebelumnya) dan inflasi inti menjadi 4,3%,
memangkas perkiraan sebelumnya. Inflasi inti diperkirakan kembali ke kisaran
target 2-4% pada semester pertama 2023 lebih cepat dari perkiraan awal yaitu
pada triwulan ketiga 2023.
Baca juga: Ekonom DBS Perkirakan Suku
Bunga Acuan BI Naik hingga 4,75%
Selain inflasi di atas target, pembuat kebijakan menghadapi
ketidakpastian lebih besar terkait rupiah di tengah arus penguatan dolar,
tekanan arus dana asing, dan gejolak pasar global. Pelemahan mata uang juga
menambah tekanan terhadap harga dan melemahkan upaya bank sentral mengendalikan
inflasi sehingga upaya menstabilkan mata uang menjadi hal mendesak.
Langkah stabilisasi rupiah (termasuk intervensi) juga akan
berlanjut. Kisaran defisit transaksi berjalan melebar hingga 0,4-1,2% dari PDB.
Terlepas dari tekanan depresiasi baru-baru ini (-8,5% sejak awal tahun), rupiah
masih termasuk di antara mata uang kawasan dengan kinerja di atas rata-rata
sejak awal tahun berkat dukungan kuat neraca perdagangan.
Stabilitas sistem keuangan domestik digarisbawahi sebagai
kekuatan karena tingkat aset bermasalah (NPA) terbilang rendah dan rasio
kecukupan modal berada di atas 25%. Pertumbuhan kredit dipatok di kisaran
9-11%.
Baca juga: DBS CIO Insights: 8 Fakta
Penting tentang Investasi Triwulan IV 2022
Perkiraan Kebijakan
Sementara inflasi tetap menjadi masalah, imbas buruk
ketidakpastian terhadap rupiah menjadi kekhawatiran lebih besar bagi
pemerintah. Dengan pasar memprediksi kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS
sebesar 75 bps pada November.
DBS Group Research
memprediksi suku bunga acuan Bank Sentral AS bisa menyentuh 5% pada 2023. Kenaikan
suku bunga Bank Sentral AS bisa memberi dampak lanjutan terhadap mata uang Asia
termasuk rupiah dan kemungkinan tetap akan berada di bawah tekanan.
DBS Group Research juga menambahkan kenaikan 50 bps ke dalam
perkiraan, membawa tingkat tertinggi suku bunga ke angka 5,5%. Hal itu
menyiratkan kenaikan lebih banyak lagi sebesar 75 bps pada akhir tahun.
Baca juga: Survei: Ada Kesenjangan
Aspirasi dan Persiapan Masyarakat dalam Melindungi Masa Depan
Secara bersamaan, Operation Twist - kebijakan moneter dengan
menurunkan suku bunga jangka panjang melalui pembelian obligasi jangka panjang
(guna melandaikan kurva dan menurunkan biaya pinjaman) - serta menjual obligasi
jangka pendek guna memulihkan perbedaan kebijakan dalam rangka menarik aliran
dana asing, belum membuahkan hasil.
Bahkan, dengan imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia
berjangka waktu lima tahun (ID 5Y) masih bertengger di kisaran tertinggi dua
setengah tahun, selisih dengan surat berharga pemerintah AS (UST) masih berada di
sekitar 250-270bp, terkecil dalam dua dasawarsa.
Mengingat ketidakpastian pada saat ini, investor mencari imbal hasil yang lebih tinggi atau kembali ke investasi aman. Kepemilikan asing atas obligasi turun di bawah 15% pada bulan lalu jika dibandingkan dengan angka tertinggi sebesar 38-39%, yang dicapai pada tiga tahun lalu.