DBS CIO Insights: 8 Fakta Penting tentang Investasi Triwulan IV 2022
Pasar belum bisa bernafas lega pada triwulan lalu karena
kekhawatiran akan peningkatan resesi global. Setelah Bank Sentral AS menaikkan
suku bunga lima kali hingga 300 bps sejak Maret, imbal hasil obligasi
pemerintah AS meningkat tiga kali lipat, sedangkan ekuitas turun 25%.
Dunia menyaksikan langkah Bank Sentral AS menaikkan suku
bunga hingga mencapai 4,5% sebelum akhirnya mengambil jeda untuk memantau
dampak dari kenaikan tersebut pada pasar tenaga kerja dan inflasi.
Saat memasuki triwulan terakhir tahun ini, pertanyaan besar
belum terjawab adalah apakah pasar secara memadai memperhitungkan berbagai
faktor penghambat, seperti ketidakpastian geopolitik, kenaikan inflasi, dan
sikap Bank Sentral AS, yang semakin agresif?
Baca juga: Bank DBS Indonesia Gandeng
E-commerce dan Fintech Tingkatkan Ekonomi Digital Berkelanjutan
Di tengah gejolak pasar jangka pendek, Bank DBS melihat terus
menyarankan investasi di sekuritas bermutu. Untuk pendapatan tetap, ambil
pendekatan “dollar-cost average” (berinvestasi dalam mata uang dolar dengan
jumlah tetap secara teratur) untuk menambahkan obligasi dengan peringkat A/BBB
yang saat ini diperdagangkan di atas 5% sebagai penghasil pendapatan.
Untuk ekuitas dengan pertumbuhan sekuler (pertumbuhan kuat
terlepas dari tren saat itu), perusahaan I.D.E.A. (Innovators, Disruptors,
Enablers, Adaptors), termasuk teknologi AS, menyediakan penyangga valuasi. Bank
DBS juga terus menekankan diversifikasi risiko melalui alternatif, termasuk
emas dan aset pribadi.
1. Ekuitas – Teknologi AS Diuntungkan oleh Imbal Hasil Akhir Tinggi
Setelah Simposium Jackson Hole pada Agustus, ekuitas AS
menerima dampak buruk dari sikap Bank Sentral AS yang semakin agresif dan
meningkatkan kemungkinan pelambatan drastis ekonomi. Dalam keadaan itu, Bank
DBS yakin bahwa siklus AS mewakili imbalan risiko menarik karena valuasi
berkontraksi 41% sejak akhir 2020.
Secara khusus, Bank DBS tetap konstruktif terhadap Teknologi
AS mengingat disrupsi digital bersifat sementara, serta pendapatan dan
ketahanan margin EBITDA (Earnings Before Interest, Taxes, Depreciation, and
Amortization) dari sektor itu.
Secara singkat, lintasan pertumbuhan untuk Teknologi AS
diperkirakan akan melampaui setiap penurunan sementara akibat perubahan
makroekonomi jangka pendek dan akan benar-benar siap untuk memanfaatkan faktor
pendorong dari imbal hasil obligasi yang memuncak, yang diperkirakan terjadi
sekitar triwulan pertama 2023.
Baca juga: Simpanan Dana Darurat,
Penyelamat Saat Kebutuhan Mendesak
2. Ekuitas – Tetap Berpendapat bahwa Kinerja Tiongkok Overweight karena Valuasi Menarik dan Kebijakan Mendukung
Peningkatan ketegangan geopolitik, perlambatan pendapatan
korporasi, sektor properti tidak sehat, serta kebijakan nol Covid ketat secara
bersama-sama memicu gerakan jual ekuitas Tiongkok selama triwulan lalu.
Meskipun demikian, Bank DBS mempertahankan pandangan bahwa
kinerja overweight dengan dua alasan. Pertama, valuasi saat ini berada di tingkat terendah
dan diperdagangkan dengan potongan atau diskon besar ke negara maju lain dan
dengan demikian membatasi penurunan lebih lanjut ke depan.
Kedua, kebijakan pemerintah, yang mendukung (termasuk
pelonggaran kebijakan moneter), diharapkan dapat menopang perekonomian dan
menyediakan katalis untuk pada akhirnya menaikkan peringkat pasar saham.
3. Ekuitas – Ekonomi ASEAN Akan Diuntungkan oleh Pembukaan Kembali, Kenaikan Suku Bunga, dan Inflasi
Setelah mencatat PDB lemah selama masa awal Covid, ASEAN-5
mengalami pemulihan meyakinkan; PDB triwulanan terbaru tercatat sebesar +4,7%,
berbeda dengan pertumbuhan rata-rata 1,4% untuk Asia Utara.
Unsur kunci untuk kinerja ASEAN di atas rata-rata adalah
dimulainya pembukaan kembali; industri perhotelan, makanan dan minuman,
penerbangan, kesehatan, dan layanan pariwisata mulai pulih dengan kuat,
didukung oleh dimulainya kembali perjalanan global.
Kenaikan suku bunga juga menguntungkan bank karena mereka
mengalami pertumbuhan margin bunga bersih. Kartu kredit dan biaya transaksi
juga diperkirakan meningkat seiring dengan pembukaan kembali dan pertumbuhan
lebih tinggi angka PDB.
Terakhir, negara ASEAN tertentu ditopang oleh inflasi karena
mereka adalah negara eksportir komoditas. Indonesia adalah contoh utama karena
memasok energi (batubara dan gas alam) serta komoditas pangan lain (minyak
sawit) dan logam (nikel, litium, dan kobalt) ke seluruh dunia.
Baca juga: DP Terjangkau Gaet Generasi
Milenial untuk Membeli Rumah
4. Ekuitas – Mempertahankan Pandangan Kinerja Eropa Underweight, Ekuitas Jepang Diuntungkan oleh Pelemahan Yen
Sentimen terhadap investasi di Eropa tetap lemah karena
krisis Rusia-Ukraina berlarut-larut dan euro turun di bawah nilai mata uang
pasangannya (dolar AS). Kekhawatiran akan perlambatan global meningkat karena
angka Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Managers’ Index, PMI) dan ekspor di
kawasan tersebut menunjukkan tanda-tanda melemah.
Meskipun menunjukkan tanda melemah, Bank DBS menyarankan
tetap berhati-hati terkait ekuitas Eropa secara umum, meskipun ada peluang di
sektor minyak, barang mewah, kesehatan, dan teknologi.
Ekuitas Jepang terus menunjukkan kinerja baik di tengah
pelemahan yen pada triwulan ketiga 2022. Pada triwulan pertama, semua sektor
kecuali komunikasi (karena Softbank) melaporkan pendapatan positif tak terduga.
Baca juga: Anggaran Kesehatan Tahun 2023
Turun 20,2% dari Total RAPBN
Permintaan domestik akan mendapat dorongan setelah pelonggaran
kontrol perbatasan; di tengah pembukaan kembali, Bank DBS memperkirakan
pendapatan akan pulih di bisnis hotel, restoran, perjalanan, dan aktivitas
terkait pengeluaran konsumen.
Meskipun pelemahan terhadap yen akan membuat inflasi akibat
perubahan harga atau kondisi nilai mata uang asing di luar negeri (imported
inflation) meningkat, itu juga menguntungkan eksportir Jepang.
Sektor ekspor, seperti mesin, otomotif, semikonduktor, dan
kosmetik, akan diuntungkan oleh pelemahan yen. Bank DBS tetap menyarankan
paparan jangka panjang di Sumotoris Jepang – perusahaan besar sukses dan
berpengaruh dengan keunggulan global langgeng.
5. Pendapatan Tetap – Pergeseran ke Arah Suku Bunga Lebih Tinggi Mensyaratkan Tuntutan Peningkatan Kualitas
Mengingat pergeseran lambat namun pasti ke arah suku bunga
lebih tinggi, dan dampak kenaikan suku bunga terhadap pertumbuhan diperparah
oleh lonjakan utang di seluruh dunia, Bank DBS memperkirakan risiko kredit
pertama-tama berasal dari wilayah ekonomi paling berpengaruh.
Bank DBS melakukan analisis risiko di seluruh pasar utama
dan menemukan bahwa margin diskon perusahaan dengan peringkat investasi (DM IG)
tetap dalam posisi terbaik untuk mengatasi tingkat suku bunga tinggi, mengingat
risiko pembiayaan kembali mereka lebih rendah, fundamental kredit lebih kuat,
dan arus kas yang dihasilkan lebih besar.
Nilai optimal tetap ada di peringkat A/BBB margin diskon
perusahaan dengan peringkat investasi, dengan segmen berdurasi 2 hingga 4 tahun
sebagai titik tercuram dari kurva kredit. Dari sisi sector, Energi dan Material
diperkirakan akan tetap kuat, sementara perusahaan Utilitas dan Konsumen justru
akan menghadapi tekanan.
Baca juga: Menelisik Penurunan Transaksi
Kripto di Indonesia, Apa yang Terjadi?
6. Alternatif – Aset Swasta
Pasar swasta telah menikmati arus modal kuat dan utang (atau
dana) murah selama bertahun-bertahun kebijakan moneter akomodatif (suku bunga
rendah). Namun, akhir dari dana murah ini dapat merupakan awal baru investasi
aset swasta, membuka peluang sekaligus tantangan, yang menuntut investor untuk
bersikap lebih selektif.
Suku bunga lebih tinggi dapat memunculkan risiko dari nilai
utang yang lebih tinggi dari ekuitas, tantangan dalam meraih modal, dan
kenaikan tingkat gagal bayar. Sementara dari sisi kurang menguntungkan, aset
dengan suku bunga mengambang dan dana lindung nilai yang diuntungkan oleh
dislokasi pasar dapat diuntungkan.
Oleh karena itu, Bank DBS tetap menekankan alokasi ke
berbagai aset swasta sebagai Langkah diversifikasi, memahami nuansa setiap
strategi akan bermanfaat bagi investor, terutama di era suku bunga
tinggi.
7. Komoditas – Pandangan Jangka Panjang tidak Berubah di Tengah Perlambatan Pertumbuhan Global
Setelah mencapai puncaknya pada triwulan pertama tahun ini,
harga berbagai komoditas telah turun menyusul pengetatan kebijakan moneter,
perlambatan pertumbuhan global, dan penguatan dolar AS tertinggi.
Di antara berbagai kelas sub-aset, energi tetap paling
tangguh (+50% sejak awal tahun), sementara logam relatif berkinerja buruk, di
angka ~15% sejak awal tahun. Terlepas dari kondisi permintaan yang menantang,
pandangan investasi jangka panjang untuk komoditas tidak berubah.
• Logam – Di tengah lemahnya permintaan dari Tiongkok dan
Eropa, UU Penurunan Inflasi Tahun 2022 membawa titik terang bagi logam karena
itu berarti ~369 miliar dolar AS disalurkan ke prakarsa perubahan iklim, yang
kemudian akan meningkatkan permintaan logam secara langsung. Terdapat pula
katalis harga jangka pendek potensial berupa menipisnya persediaan dan
pengurangan energi, yang akan membatasi pasokan logam yang sudah ketat.
• Komoditas lunak – Meskipun komoditas lunak tidak
menikmati hasil sebaik energi, mereka tetap berada di wilayah positif (+12%
sejak awal tahun). Dalam jangka panjang, komoditas lunak, khususnya komoditas
pangan, akan terus berkinerja baik akibat kelangkaan – permintaan stabil dan
terus meningkat dengan pasokan semakin terbatas akibat pemanasan global, dan
berkurangnya lahan pertanian per kapita.
Baca juga: Sekjen Kemnaker: SIPK Berperan
Penting Tingkatkan Kesejahteraan Masyarakat
8. Tematik – Barang Mewah dan Layanan Kesehatan Akan Diuntungkan oleh Perubahan Demografis Struktural dan Gaya Gidup
Pada triwulan ini, Bank DBS menggarisbawahi tema investasi
barang mewah dan kesehatan sebagai penerima manfaat dari perubahan demografis
dan pilihan gaya hidup baru.
• Barang mewah – Barang mewah telah menunjukkan pendapatan
tangguh sebagai bukti permintaan konsumen kuat. Bank DBS yakin barang mewah
akan tetap menjadi tren, dengan menjadi yang terdepan di tren milenial
tercanggih, dan diuntungkan oleh gaya hidup digital serta konsumsi Tiongkok
selama bertahun-tahun.
• Layanan Kesehatan – Terlepas dari hambatan jangka pendek akibat gangguan pada rantai pasokan, Bank DBS yakin bahwa segmen peralatan medis akan menghasilkan pertumbuhan kuat untuk industri kesehatan. Penduduk yang menua, prevalensi penyakit kronis, dan meningkatnya permintaan akan perangkat dan layanan inovatif mendukung potensi perluasan di sektor ini.