Harapan Besar Industri Kesehatan di Indonesia Pasca Pandemi
Bisnis di sektor kesehatan menjadi primadona selama masa
pandemi COVID-19 serta era pasca pandemi. Namun faktanya, tidak semudah itu
meraup keuntungan besar bagi para pelaku industri ini. Hal itu terungkap dalam diskusi
reguler Industrial Talk yang digelar Master Program Universitas Prasetiya Mulya
bertemakan Outreach the Promising Future of Healthcare Industry.
Dalam diskusi tersebut terungkap beragam strategi para
pemain di industri kesehatan bertahan dan mengatasi badai persoalan. Direktur
Utama Rumah Sakit Premier Bintaro dr. Martha M.L. Siahaan mengungkapkan bahwa
bisnis rumah sakit merupakan bisnis yang lebih banyak risikonya daripada
revenue.
“Industri ini sangat rentan tuntutan pasien. Juga sangat
padat sumber daya manusia karena tidak pernah berhenti satu detik pun, jadi
jumlah SDM-nya bisa tiga kali dari industri biasa. Selain itu juga padat
teknologi,” ujarnya. Rumah sakit ini bahkan pekan lalu baru saja menginstalasi
robot asal Amerika Serikat dengan teknologi terbaru seharga Rp69 miliar,”
ungkapnya.
Baca juga: Prioritas Baru di Industri
Kesehatan Pasca Pandemi
Robotic Spin Surgery Navigation Platform yang dinamakan
'Robbin' ini fungsinya meningkatkan keamanan pasien dalam menjalani operasi
tulang belakang dengan tingkat akurasi penempatan screws (implan) mencapai
99,9%.
"Saya ngotot harus mendatangkan alat ini supaya
masyarakat kita tidak perlu lagi ke luar negeri, Eropa atau Amerika karena di
Indonesia sudah ada. Bahkan Robbin ini merupakan robot pertama di Asia
Tenggara,” ujarnya.
Sebelumnya Presiden Joko Widodo, pada akhir tahun lalu saat
acara peletakan batu pertama pembangunan Rumah Sakit Internasional Bali menyatakan
bahwa RI kehilangan Rp97 triliun karena banyak warganya yang pergi berobat ke
luar negeri. Selain itu, kepala negara juga mendorong penggunaan produk lokal
untuk alat-alat yang memang sudah bisa diproduksi di dalam negeri.
Baca juga: Rekam Sejarah JKN dalam Rumah
Memorabilia BPJS Kesehatan
Namun dorongan ini harus berhadapan dengan tantangan besar
dari bisnis alat kesehatan (alkes), di mana industri alkes dalam negeri terus
digempur banyak produk impor. Bayangkan saja, produsen yang memproduksi alkes
di negeri ini hanya 727 pabrik, dengan 4.265 distributor alat kesehatan. Izin
produk lokal pun baru mencapai 11.734. Angka ini jauh lebih kecil dari 52.721
izin produk impor.
Sekjen Asosiasi Produsen Alat Kesehatan Indonesia (ASPAKI),
Dr. Cristina Sandjaja menjelaskan, pasar alkes Indonesia tidak bisa berbuat
banyak, hanya menguasai 0,7% dari pasar global, kalah jauh dari Amerika Serikat
yang menguasai 38,2%, kemudian China yang menguasai 19,9%, hingga India 2,16%.
"Impor kita untuk alkes mencapai Rp40 triliun. Namun
industri alkes bisa ekspor Rp 16 triliun, jadi defisit 23 triliun. Impor lebih
besar dari ekspor. Setelah adanya teguran Presiden, kini kita baru tersadar.
Arahan Presiden tersebut menyadarkan banyak pihak untuk menggenjot produksi
alkes dalam negeri," jelasnya.
Baca juga: Mudah dan Aman Bayar Iuran
BPJS Ketenagakerjaan via Autodebet
Direktur Prodia Diagnostic Line ini menilai ada harapan
ketergantungan impor alkes Indonesia bisa berkurang. Apalagi masing-masing
industri terus melakukan inovasi agar produknya bisa terasa bermanfaat bagi
masyarakat luas. Christina pun melakukan langkah serupa, yakni membuat industri
Reagensia.
"Ketika sedang studi S3, saya diminta owner-founder Prodia untuk buat suatu industri Reagen. Kalau datang ke Prodia lab, saat akan diperiksa gula darah dan kolesterol, darah Anda diambil, terpisah serum dan selnya. Kemudian serumnya diambil, dimasukkan ke dalam satu instrumen lab, dicampur dengan Reagen, maka dapat diketahui gula darahnya misal 108mg/dl. Yang Prodia Diagnostik Line buat adalah reagensia, pereaksi kimia," sebutnya.