Anggaran Kesehatan Tahun 2023 Turun 20,2% dari Total RAPBN
Anggaran kesehatan pada tahun anggaran 2023 mendatang menurun
seiring kasus Covid-19 yang semakin terkendali, serta peralihan dari pandemi ke
endemi. Dalam RAPBN 2023, anggaran kesehatan hanya dialokasikan sebesar Rp169,8
triliun atau turun 20,2 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Dekan Sekolah Bisnis dan Ekonomi Universitas Prasetiya
Mulya, Fathony Rahman, menyoroti minimnya anggaran kesehatan tahun 2023,
mencapai 5,9% dari total RAPBN atau Rp731.266 per orang per tahun. Padahal WHO
menetapkan standar anggaran kesehatan sebesar 15% dari APBN.
Dengan bonus demografi yang besar, seharusnya pemerintah dan
pelaku industri perlu mewaspadai bahwa Indonesia harus diisi masyarakat yang
sehat. “Jika penduduk berusia produktif yang besar ini penyakitan dan banyak
mengalami stunting, misalnya, maka Indonesia tidak bisa bersaing dengan negara-negara
lain,” ujarnya.
Baca juga: Harapan Besar Industri
Kesehatan di Indonesia Pasca Pandemi
Fathony pun mendorong agar para pelaku industri, termasuk
tenaga kesehatan harus mampu menggunakan marketing untuk mengedukasi masyarakat
dalam membangun awareness tentang pentingnya menjaga kesehatan.
“Dan pemerintah juga perlu menyadari bahwa pemasaran dalam
industri rumah sakit bukan hal yang tabu. Karena pemasaran bukan selling. Rumah
sakit yang punya alat-alat yang mahal dan berteknologi tinggi tentu akan
kesulitan mencapai break even point kalau tidak diumumkan kepada publik,”
tambahnya.
Dalam ajang Industrial Talk ini, terungkap pula bahwa para
pelaku industri kesehatan telah memperhatikan perjalanan konsumen sejak di
ranah online hingga offline. “Senang sekali hal ini sudah menjadi perhatian
penting para pelaku industri kesehatan.
Baca juga: Prioritas Baru di Industri
Kesehatan Pasca Pandemi
Industri hospitality, seperti hotel memang telah lebih dulu
melakukan strategi ini dengan baik. Saya mengapresiasi pula bagaimana para
pelaku industri rumah sakit memadukan layanannya dengan wisata hingga menjadi
health tourism,” ujarnya.
Sejalan dengan hal tersebut, pada ajang Industrial Talk
selanjutnya, kampus bisnis terbaik di Indonesia ini akan menghadirkan para
pelaku industri pariwisata yang saat ini dengan segenap kekuatannya mendorong
percepatan pemulihan pariwisata nasional.
Data dari Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia (GPFI)
mengungkapkan bahwa penguasaan investasi dari dalam negeri lebih besar.
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) menguasai 75% pasar farmasi Indonesia,
sedangkan Penanaman Modal Asing (PMA) hanya 25%. Kondisi ini berbeda dengan
negara lain seperti Filipina di mana PMDN berkisar di angka 25% sementara PMA
mencapai 75%.
Baca juga: Rekam Sejarah JKN dalam Rumah
Memorabilia BPJS Kesehatan
Meski investasi atau modal dari dalam negeri lebih kuat,
lain halnya dengan sumber bahan baku. Untuk memproduksi obat di RI, pabrikan
masih harus mencari sumber bahan baku dari negara lain, utamanya China.
“Farmasi dibuat di Indonesia tapi 95% bahan baku masih
impor. Jadi kejadian waktu pandemi, China, India lockdown kita kesulitan, butuh
perjuangan luar biasa. Saya juga datang sendiri ke sana untuk mencari
Chloroquine, biasanya pengiriman India ke Indonesia cuma beberapa hari, kemarin
harus melewati beberapa negara jadi lebih lama," kata Direktur Utama PT
Dexa Medica Herry Sutanto M.M.
Baca juga: Mudah dan Aman Bayar Iuran
BPJS Ketenagakerjaan via Autodebet
Ketika sudah dalam bentuk produk jadi, nyatanya produk
obat-obatan Indonesia bisa berbicara banyak. Herry juga sudah membawa Dexa
mengekspor produk seperti Stimuno ke berbagai negara, mulai dari Asia Tenggara
seperti Kamboja-Filipina, negara Afrika seperti Nigeria hingga benua Eropa.
"Kita jadi salah satu produsen obat generik terbesar di Indonesia yang mensuplai ke JKN, suplier paling banyak produknya ke JKN juga Dexa Group. Kita juga ekspor ke mancanegara produk obat-obatan kita baik kimia maupun herbal," kata Herry.