“Kiamat” Inflasi Hantui Negara Asia, Bagaimana Indonesia?
Lonjakan
inflasi yang terjadi di negara-negara Asia belakangan ini memaksa
pemerintahnya berpikir keras untuk mengambil langkah-langkah strategis. Bank
sentral negara di Asia bertindak agresif untuk mengetatkan kebijakan moneternya
dan meningkatkan kekhawatiran perlambatan ekonomi global.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh negara-negara di Asia
untuk menekan laju inflasi. Pemerintah Korea Selatan melalui Bank Sentralnya juga
telah menaikkan suku bunga menjadi 1,75% di bulan Mei untuk mengurangi inflasi
dari level tertinggi dalam 13 tahun.
Baca juga: Aset Kripto dan Uang Digital Bank Sentral Jadi Bahasan Pertemuan G20
Begitu pula dengan Jepang yang laju inflasi melonjak 2,5%
yoy (year-on-year) pada bulan Mei, setelah menunjukkan kenaikan yang sama di
bulan sebelumnya. Sementara di Tiongkok, harga produsen naik 8,3 persen dari
tahun lalu, meskipun turun 8,8 persen pada Februari, tetapi masih di atas
median 8,1 persen.
Di Asia Tenggara, berdasarkan data Tradingeconomics, Myanmar
merupakan negara dengan laju inflasi tertinggi di kawasan Asia Tenggara dengan
kenaikan sebesar 12,63% YoY pada Desember 2021.
Baca juga: Marak PHK di Startup, Grant Thornton Ingatkan Pentingnya Manajemen Keuangan Perusahaan
Negara ASEAN dengan inflasi tertinggi berikutnya adalah
Laos, yakni sebesar 9,9% YoY hingga April 2022, diikuti Thailand dengan inflasi
7,1% YoY pada Mei 2022, lalu Kamboja 6,3% YoY hingga Februari 2022, dan
Filipina sebesar 5,4% YoY pada Mei 2022.
Bagaimana dengan Indonesia?
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio
Kacaribu mengatakan inflasi Indonesia pada Juni 2022 tercatat 4,35% dan masih
tergolong moderat dibandingkan negara lain. Meskipun inflasi pada bulan Juni
2022 ini merupakan yang tertinggi sejak Juni 2017, yang mana pada waktu itu
berada di level 4,37% YoY.
Febrio Kacaribu juga menambahkan, melalui instrumen Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pemerintah berhasil meredam tingginya
tekanan inflasi global, sehingga daya beli masyarakat serta momentum pemulihan
ekonomi nasional masih tetap dapat dijaga.
Baca juga: Terbitkan Green Bond, BRI Ajak Masyarakat Investasi Sambil Selamatkan Bumi
Sependapat dengan Febrio, CEO Grant Thornton Indonesia Johanna Gani
mengungkapkan, inflasi di
Indonesia masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara-negara di
kawasan Asia lainnya. Salah satu faktor penyulut naiknya inflasi adalah pengaruh global seperti situasi
perang Rusia - Ukraina yang telah menyulut kenaikan harga komoditas.
“Inflasi
tersebut juga telah menyebabkan kenaikan harga pangan dalam negeri seperti minyak
goreng, cabai merah, cabai rawit, bawang merah, dan telur ayam. Hal ini
tentunya akan mengganggu proses pemulihan ekonomi terutama terhadap konsumsi
rumah tangga,” ucap Johanna.
Baca juga: Kuartal I 2022, Jumlah Investor Ritel di Pasar Modal Meningkat 15,11 Persen
Menurutnya,
pemerintah dan Bank Indonesia perlu memperkuat koordinasi dan komunikasi
terutama terkait dengan rencana penyesuaian harga yang diatur pemerintah,
sehingga dapat mengatur kebijakan moneter dan menjaga stabilitas nilai tukar
rupiah.
“Pemerintah juga perlu melakukan stabilisasi harga pangan dengan memastikan pasokannya terutama harga minyak goreng, sehingga diharapkan tekanan inflasi tidak meningkat signifikan dan masih dapat terkendali,” tegas Johanna.