Akibat Pandemi, Dana Program JKm Menurun dan Rasio Klaim Meningkat
Program Jaminan Kematian (JKm) BPJS Ketenagakerjaan menjadi salah
satu program yang membantu meringankan beban keluarga yang ditinggalkan dalam
bentuk biaya pemakaman, uang santunan, sampai beasiswa untuk anak. Program JKm ini berupa manfaat uang
tunai yang diberikan kepada ahli waris ketika peserta meninggal dunia, bukan
akibat kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja.
Sejak pertama kali diluncurkan pada 2015, berdasarkan PP 44
Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan
Kematian, total manfaat yang diberikan bagi peserta hingga Rp32 juta.
Kemudian, PP tersebut diubah menjadi PP 82 Tahun 2019
tentang Perubahan atas PP Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program
Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian, dengan total manfaat hingga
Rp174 juta.
Baca juga: BPJS Ketenagakerjaan Naikkan Manfaat Program JKK dan JKM
Dengan adanya perubahan manfaat JKm tersebut, sejak Februari
2022 terlihat ada selisih antara estimasi pembayaran manfaat dengan PP 44/2015
dengan pembayaran manfaat PP 82/2019 sejak 2 bulan setelah PP tersebut terbit.
Pandemi COVID-19 turut menjadi andil dalam terjadinya
peningkatan sejak April 2021 dan pembayaran manfaat tertinggi sebesar 225
persen atau sebesar Rp308 milyar. Berdasarkan kasus tersebut, Ketahanan dana
program JKm mengalami penurunan dan rasio klaim yang cenderung mengalami
pengingkatan.
Ketua Komisi Kebijakan Umum Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Iene Muliati melihat
kondisi sekarang ini dan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan sejak 2019
berdampak pada peningkatan manfaat (klaim), peningkatan cadangan teknis
(beasiswa berkala), peningkatan rasio klaim dan penurunan kesehatan keuangan
serta penurunan jumlah peserta dan peningkatan kasus kematian.
Baca juga: Begini Cara Klaim Program Jaminan Kematian BPJS Ketenagakerjaan
“Untuk itu ada beberapa skenario yang perlu diperhatikan
yaitu, kolektabilitas iuran, proyeksi cakupan peserta, skenario relaksasi. Itu
mungkin beberapa skenario yang harus dipersiapkan karena kalau kita sudah bisa
melihat skenario itu nanti nya akan bisa menjadi bauran kebijakan pemerintah.”
kata Iene
Sementara Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional
(DJSN) Indra Budi Sumantoro berpandangan lain terhadap aspek regulasi
seperti review iuran Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) sebesar Rp6.800 dan
rekomposisi iuran. Menurutnya, perlu adanya diferensiasi iuran bagi PBPU
seperti Peserta Penerima Upah, yakni besaran iuran berdasarkan kategorisasi
penerimaan upah.
“Ini menjadi penting untuk meningkatkan ketahanan Dana Jaminan Sosial pada Program Jaminan Kematian. Jumlah kepesertaannya pun perlu ditingkatkan lagi, karena jumlah 22,06 juta peserta itu masih sedikit, apalagi melihat sektor informal yang tidak mencapai 5 persen.”