57 Persen UMKM di Indonesia Andalkan Modal Pinjaman Keluarga dan Teman
Lebih dari separuh (55 persen) usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia terbukti
tidak dapat memperoleh pendanaan yang memadai (jika memang ada) pada setidaknya
satu atau lebih kesempatan dalam lima tahun terakhir. Demikian bunyi laporan
baru dari platform perbankan cloud Mambu.
Angka ini melonjak hingga lebih dari dua pertiga (67 persen)
untuk kawasan Asia Pasifik secara umum. Laporan bertajuk ‘Small business, big
growth’ mensurvei lebih dari 1.000 pemilik UMKM di seluruh dunia, termasuk UMKM
dari Indonesia, yang mendirikan perusahaan dan mengajukan pinjaman dana usaha
dalam lima tahun terakhir.
Lebih dari separuh (57 persen) UMKM Indonesia terpaksa
mengandalkan modal pinjaman dari teman dan keluarga, dan 41 persen menggunakan
dana pribadi dalam memulai bisnis mereka. Dari sekian UMKM yang tidak dapat
memperoleh dana usaha yang cukup, 37 persen mengalami kesulitan arus kas, 37
persen tidak dapat meluncurkan produk atau layanan baru, dan 35 persen
kesulitan mengangsur kembali pinjaman kepada kreditur.
Baca juga: 5 Tren Akselerasi Digital Menurut Bank Indonesia
Temuan Mambu justru terungkap di
tengah-tengah peningkatan jumlah institusi kredit alternatif, di saat UMKM
melirik bank-bank dan fintech nonkonvensional untuk mengatasi kendala umum.
Peluang masuknya pemain baru jelas terbuka lebar karena mayoritas (93 persen)
UMKM Indonesia mengaku siap berganti pemberi pinjaman untuk mendapatkan
kemudahan modal pinjaman.
Hampir separuh (49 persen) dari UMKM Indonesia menyebutkan
manfaat dan insentif pinjaman yang lebih baik sebagai alasan utama dalam
berganti pemberi pinjaman. Sementara itu, 47 persen siap berganti ke opsi keuangan
yang lebih baik dan 33 persen lebih memilih layanan pinjaman digital yang lebih
baik , seperti menggunakan aplikasi seluler untuk mengelola proses peminjaman.
Myles Bertrand, Managing Director APAC di Mambu
mengatakan, Indonesia menjadi lahan subur bagi 62 juta lebih usaha mikro,
kecil, dan menengah, di mana hampir 99 persen di antaranya masuk dalam kategori
usaha mikro. Semua usaha kecil ini merupakan tulang punggung perekonomian
Indonesia, yang menyumbang hampir 60 persen PDB nasional dan menyerap tenaga
kerja Indonesia sebesar 97 persen.
Baca juga: Menteri Teten: Bank Harus Bidik UMKM Potensial Naik Kelas
Akan tetapi, akses dana usaha ternyata menjadi kendala besar
bagi mereka. Hal ini tampaknya terjadi karena industri pinjaman dana usaha
tidak mengikuti kemajuan teknologi seperti di bidang-bidang bisnis dan keuangan
lainnya.
Jika pemberi pinjaman ingin menarik perhatian pangsa pasar
UMKM Indonesia, mereka mesti melakukan modernisasi proses pemberian pinjaman
dan menerapkan teknologi baru dalam menyediakan solusi pinjaman yang bersifat
personal, sederhana, dan mudah diakses.
“Dengan layanan pinjaman digital yang lebih baik, proses
pengambilan keputusan dan pengurusan pinjaman pun akan menjadi lebih cepat.
Artinya, dana usaha bisa langsung cair saat pemilik bisnis benar-benar
membutuhkannya,” katanya.
Baca juga: Menkeu: Perempuan Berperan Penting dalam UMKM
Lembaga keuangan harus kreatif dan melakukan terobosan besar
dalam mengatasi proses pengajuan pinjaman yang ribet dan berbelit. Temuan
penelitian mengungkapkan bahwa durasi pengajuan pinjaman menjadi faktor utama
yang mempengaruhi pemilik usaha kecil dalam memilih pemberi pinjaman.
Meskipun suku bunga rendah menjadi pertimbangan utama bagi
95 persen UMKM dalam proses pengambilan keputusan, 93 persen juga menghendaki
proses pengajuan pinjaman yang cepat, dan 86 persen menginginkan jadwal
pelunasan yang berjangka waktu lama.
Terkait dengan perbaikan proses pengajuan pinjaman, 92
persen UMKM Indonesia menginginkan proses keputusan pinjaman yang lebih cepat,
90 persen tertarik dengan persyaratan agunan yang ringan atau bahkan tanpa
agunan, dan 89 persen menghendaki syarat pinjaman yang lebih fleksibel.
Baca juga: Cara Ditjen Pajak Tingkatkan Kesadaran Pajak UMKM
CEO Retail Economics Richard Lim menuturkan, pandemi telah
memicu perubahan besar dalam cara kita bekerja, bermain, dan berbelanja
sehingga mempercepat demokratisasi digital. Akibatnya juga masih terasa di
tengah-tengah masyarakat. Namun akses ke modal usaha merupakan bidang dengan
laju digitalisasi yang sangat lambat.
Pelaku bisnis yang berusaha meningkatkan skala usahanya
dengan cepat dan juga cekatan dalam menangkap peluang, sering kali terbentur
oleh proses pengajuan pinjaman yang berbelit-belit dan menguras tenaga. Proses
pemberian pinjaman saat ini yang lamban dan tidak efisien, tidak lagi cocok dengan
tren digital saat ini yang bergerak pesat dan dinamis.”
Kendala paling umum di seluruh dunia dalam mendapatkan dana usaha di kalangan UKM adalah modal awal yang tidak memadai (30 persen), urusan birokrasi dan administrasi dalam proses peminjaman yang bertele-tele (28 persen), dan arus kas yang tidak dipertimbangkan secara matang (27 persen).