Larangan Perbankan Fasilitasi Perdagangan Kripto, Indef: Kok Dilarang!
Pernyataan Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
terkait pelarangan pihak perbankan memfasilitasi transaksi kripto menuai
kritik. Pasalnya, kripto telah dikukuhkan sebagai salah satu komoditas yang
diperdagangkan dengan pengawasan di bawah Badan Pengawas Perdagangan Berjangka
Komoditi (Bappebti).
OJK telah meminta kepada industri perbankan agar
penggunaan rekening bank tidak dijadikan sebagai penampung dana dari kegiatan
melanggar hukum, termasuk kripto. Hal itu merupakan buntut dari maraknya
penipuan investasi dan kejahatan bermodus skema ponzi.
Peneliti Institute for Development of Economics and
Finance (Indef) Nailul Huda menilai, pernyataan OJK itu menandakan adanya
ketidakselarasan antar-instansi pemerintah. Pasalnya, kripto sendiri telah
dirancang sebagai komoditas oleh Bappebti di bawah Kementerian Perdagangan.
Baca juga: Meneropong Harga Aset Kripto Bitcoin di Awal Tahun 2022
Tidak hanya itu, Bappebti juga telah merancang aturan
terkait perdagangan dan pedagang kripto secara resmi. Artinya, selama transaksi
dilakukan oleh pedagang kripto terdaftar dan diawasi Bappebti, skema
perdagangan kripto layaknya komoditas ataupun produk derivatif lainnya.
“Di satu sisi Bappebti berupaya memfasilitasi industri ini, tapi di
sisi lain ada institusi lain yang punya pandangan lain. OJK dan Bappebti
ini ngobrol dululah, tren aset kripto ini kan sudah jalan beberapa
tahun terakhir,” ungkap Nailul.
Di lain sisi, dia memahami sudut pandang OJK yang
masih mempersepsikan bahwa aset kripto berpotensi sebagai alat tukar layaknya
uang fiat, karena namanya adalah cryptocurrency.
Sedangkan alat tukar resmi adalah Rupiah sebagaimana diatur
perundang-undangan.
Baca juga: Perdagangan Aset Kripto dan Risiko Pencucian Uang
“Tapi kan sejak awal ketika Bapppebti memfasilitasinya,
kesepakatannya di Indonesia hanya boleh digunakan sebagai aset investasi. Bukan
alat transaksi,” jelas Nailul. Karena itu, dia menilai ada kejanggalan dengan
imbauan dari otoritas agar perbankan tidak memfasilitasi transaksi aset kripto,
padahal sejak awal Bappebti merumuskan kripto sebagai komoditas investasi.
“Bagaimana bisa investor membeli atau
berinvestasi aset kripto kalau tidak bisa menggunakan rekening bank
sebagai jembatan untuk beli atau jual aset kripto ke pedagang kriptonya? Kan
ini aset digital, masa iya beli dan jualnya lewat pedagang langsung secara offline,” tegas Nailul.
Lebih jauh, dia sepakat bahwa otoritas terkait dan
Satgas Waspada Investasi (SWI) berhak melarang sejauh perdagangan itu bersifat
ilegal, termasuk yang dilakukan oleh pedagang kripto yang tidak terdaftar di
OJK.
Baca juga: Waspada! Marak Penipuan Investasi Aset Kripto Skema Ponzi
“Selama ini Bappebti sudah merilis mana saja
pedagang kripto dan koin kripto yang terdaftar dan berizin resmi di
Bappebti. Seharusnya itu sudah cukup jadi acuan untuk melakukan pengawasan dan
mengendalikan keterlibatan bank,” tambah Nailul.
Dia menambahkan, OJK berhak dan berwenang mengatur
dan melarang perbankan dalam ekosistem aset kripto, dalam hal penempatan dana
bank ke dalam bentuk aset kripto. Sebab, kata Nailul, karena dana di bank
adalah dana masyarakat. “Mereka tidak boleh main-main menempatkan
dana nasabahnya, terutama di aset yang punya fluktuasi tinggi,” simpulnya.
Sementara itu, Direktur PT TRFX Garuda Berjangka
Ibrahim Assuaibi mengungkapkan,adanya gesekan dengan OJK akan berdampak pada
telatnya peluncuran bursa kripto. Sebab, fungsi lembaga keuangan, dalam hal ini
bank nantinya akan sebagai kustodian untuk perdagangan aset kripto. Kustodian
ini paling penting posisinya.
Baca juga: Belum Ada Mekanisme Potongan PPh, Pajak Aset Kripto Disetor Sendiri
“Jadi saya tidak heran kenapa launching bursa kripto
ini molor terus dari semester II 2021 lalu, rupanya ada deadlock
antara Bappebti dan OJK dalam melaksanakan perdagangan aset kripto yang diakui
negara, dalam hal ini bursa kripto,” ungkap Ibrahim.
Dengan kendala itu akan membuat dampak lanjutan
seperti kian sulitnya aset kripto diterima di masyarakat. “Bahkan akan makin berjamuran
aktivitas perdagangan kripto yang sulit dipantau keamanannya. Negara
makin sulit untuk meregulasi aset kripto ini,” ungkap Ibrahim.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Pedagang Aset Kripto
Indonesia (Aspakrindo) Teguh K. Harmanda mengungkapkan, pihak asosiasi menghargai
pernyataan dari otoritas. Namun, menurutnya, sejauh ini asosiasi telah berupaya
untuk menempatkan perdagangan kripto sesuai aturan main dan melengkapi
perlindungan hukum.
“Bahwa sudah semestinya kita harus menjaga industri agar tumbuh secara sehat, contohnya pada industri aset kripto yang sudah menerapkan rekomendasi terhadap APU/PPT, adanya pelaporan yang diwajibkan oleh Bappebti setiap harinya, dan melaporkan jika menemukan transaksi mencurigakan. Sehingga kami yakin sekali, bahwa transaksi aset kripto yang berjalan saat ini sudah seirama dengan mitigasi resiko yang kita khawatirkan bersama pada industri keuangan secara luas,” tegas Teguh.