Ekonomi Digital Diprediksi Tumbuh Rp4.500 Triliun pada 2030
Pemerintah dan asosiasi fintech
sepakat untuk terus mendongkrak inklusi keuangan agar masyarakat semakin banyak yang
memanfaatkan fintech dan di sisi lain
juga berupaya meningkatkan literasi keuangan digital.
Wakil Presiden K.H. Ma'ruf Amin meminta kepada seluruh
pemangku kebijakan, khususnya Kementerian Komunikasi dan Informatika
(KemenKominfo), Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan
asosiasi-asosiasi, saya minta untuk berperan aktif dalam membantu terciptanya
kebijakan yang afirmatif.
“Kita ingin bersama-sama memajukan industri ekonomi dan
keuangan digital yang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat," ungkap Wapres
dalam sambutan di hari terakhir The 3rd Indonesia Fintech
Summit (IFS) 2021 di Nusa Dua, Bali.
Baca juga: BI Proyeksikan Pertumbuhan Ekonomi 2022 Sebesar 4,7-5,5 Persen
Upaya-upaya ini tidak lain untuk menyambut perkembangan fintech di masa depan. Wapres juga
mengutip proyeksi Kementerian Perdagangan (Kemendag), bahwa sektor keuangan
digital akan tumbuh delapan kali lipat di 2030, dari sekitar Rp600 triliun
menjadi Rp 4.500 triliun.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi
Luhut B. Panjaitan menyatakan bahwa tingkat inklusi keuangan digital di
Indonesia sudah berada pada indikator yang sangat baik. Sayangnya, grafik
tersebut belum ditunjang dengan tingkat literasi keuangan, yang menurut Luhut,
masih sangat jauh dibanding negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia.
Luhur mengungkapkan, berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) 2019, Indeks Literasi Keuangan baru mencapai 38,03 persen dan Indeks
Inklusi Keuangan 76,19 persen. Angka ini berbanding jauh dari Singapura di
angka 98 persen, Malaysia 85 persen, dan Thailand 82 persen.
Baca juga: 3 Faktor Pendorong Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2022, Apa Saja?
Tingkat inklusi tinggi dengan literasi rendah menunjukkan
potensi risiko yang begitu tinggi. Pasalnya, meski masyarakat memiliki akses
keuangan, sebenarnya mereka tidak memahami fungsi dan risikonya.
“Peningkatan literasi menjadi kunci agar tingkat inklusi yang
sudah terjadi bisa berdampak lebih produktif dengan risiko minim. Inilah yang
jadi pekerjaan kita bersama, antara pemerintah dan asosiasi," ungkap Luhut
dalam sambutan bertema "Innovation and Investment in Indonesia's
Digital Economy and Finance Ecosystem.
Pada kesempatan itu, Ketua Umum Asosiasi Fintech Syariah
Indonesia (AFSI) Ronald Wijaya menangkap perhatian khusus dari Wapres Ma'ruf
Amin mengenai masih minimnya fintech syariah yang legal. "Komitmen kami di
AFSI adalah agar anggota terus mendorong inovasi tapi tidak lupa untuk patuh
terhadap ketentuan yang ada," sambung Ronald.
Baca juga: Menilik Peluang Pasar Saham dan Obligasi 2022
Apalagi, potensi fintech
syariah di Indonesia masih sangat terbuka. Indonesia menempati urutan kelima
pangsa pasar terbesar fintech syariah di dunia. Data dari Investree, pengguna
didominasi oleh milenial. Artinya struktur penduduk usia muda lebih meminati
fintech syariah. Ke depan, kami terus melakukan kampanye yang menyasar pengguna
potensial fintech syariah," beber Ronald.
Menguatkan pernyataan
Ronald, Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Adrian
Gunadi mengungkapkan, ada sejumlah tantangan besar di sektor pendanaan
bersama (peer-to-peer lending) adalah
isu pinjol ilegal.
Berdasarkan data, secara
agregat pinjaman yang sudah disalurkan per Oktober 2021 mencapai Rp272,4
triliun. Dengan angka ini, masih ada kebutuhan pendanaan yang mencapai Rp1.600
triliun yang belum dapat terlayani.
“Artinya, potensi fintech pendanaan bersama masih terbuka lebar. Mengingat hal ini, AFPI akan turut melakukan reformasi terhadap layanan pengaduan menjadi semakin responsif, serta menambah komponen sumber daya manusia (SDM) internal, terutama berkaitan pengawasan kode etik," paparnya.