Waspada Kejahatan Siber Modus Rekayasa Sosial di Masa Pandemi
Situasi pandemi Covid-19, secara
tidak langsung mendorong perubahan perilaku masyarakat dalam mengadopsi
teknologi untuk memenuhi berbagai kebutuhan sehari-hari, termasuk untuk
kebutuhan perbankan.
Sayangnya, hal ini diikuti dengan
meningkatnya kejahatan siber yang mengintai para
pengguna platform digital, salah satunya yang marak terjadi adalah dengan modus
rekayasa sosial atau social engineering.
Oleh karena itu, sebagai pengguna
layanan, terutama dalam ranah digital, nasabah juga harus lebih berhati-hati
saat menerima telepon, pesan singkat, ataupun pesan melalui media sosial yang
mengaku dari pihak bank tertentu yang meminta data-data atau informasi bersifat
pribadi dan rahasia, atau mengklik suatu tautan tertentu.
Baca juga: Waspada Kejahatan Perbankan Bermodus SIM Swap
“Penyedia layanan bertanggung
jawab untuk menjaga keamanan data dan dana
nasabah, namun nasabah juga perlu waspada untuk turut melindungi data milik
mereka agar tidak disalahgunakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab,” kata
Cyber Security Researcher & Consultant Teguh Aprianto dalam acara Press
Conference Peluncuran Program ‘Jenius Aman’, Kamis (28/10/2021).
Penipuan Modus Social Engineering
Teguh mengungkapkan, ada tiga cara
yang dilakukan pelaku penipuan untuk mendapatkan data pribadi seseorang,
khususnya nasabah perbankan. Data pribadi seperti nama, nomor handphone, email, dan tanggal lahir,
bukan lagi hal yang sulit dicari di internet.
Setelah mendapatkan data pribadi
itu, pelaku akan mencari data lainnya akan melakukan open source intelligence (osint).
Data ini dicari dari sumber yang terbuka bisa dari media sosial seperti pernah
bertanya melalui media sosial ke customer
service bank.
Baca
juga: Perlindungan Konsumen di Era Digital Semakin Penting
Kemudian, pelaku penipuan akan
menghubungi secara langsung ke targetnya. Pelaku akan berpura-pura menjadi customer service bank dan
menjelaskan bahwa ada perbaikan sistem dan meminta data pribadi target nasabah
tersebut.
Bagi nasabah yang aware, modus seperti ini pasti tidak
akan ditanggapi karena sadar modus ini adalah penipuan. Namun, bagi orang awam,
modus social engineering atau
rekayasa sosial ini masih banyak menjerat korban.
“Sebenanya, ada korban yang punya
literasi yang baik terkait penipuan ini. Tapi karena kondisi kesibukan,
akhirnya terjebak melayani telepon dari pelaku penipuan. Untuk lebih cepatnya,
korban sering meng-iya-kan saja setiap permintaan pelaku penipuan,” ungkap
Teguh.
Setelah mendapatkan data-data
pribadi targetnya secara lengkap, selanjutnya pelaku penipuan akan memulai data breach karena penipu sudah
bisa mengakses data-data lanjutan dari seseorang nasabah.
Baca juga: 11 Tips Menghindari Kejahatan Digital Banking
Pada kesempatan itu, Digital
Banking Head Bank BTPN Irwan Tisnabudi memaparkan Jenius Study bertajuk Tingkat
Pengetahuan Masyarakat Terhadap Data-Data Pribadi yang Bersifat Rahasia. Studi
ini dilaksanakan pada September 2021 yang melibatkan 637 responden berusia 21
hingga 30 tahun.
Dalam studi ini ditemukan hanya 1
dari 10 anggota masyarakat digital savvy
yang memahami dan menyadari modus kejahatan siber rekayasa sosial (social engineering). Dalam hasil survei
yang sama, ditemukan 7 dari 10 anggota masyarakat digital savvy belum memahami bahwa nama dan tanggal kedaluwarsa
yang tertera di kartu debit merupakan informasi rahasia yang sama pentingnya
dengan informasi lainnya, seperti PIN, nomor CVV, dan 16 digit kartu.
Dari hasil survei juga ditemukan bahwa dari 10 anggota masyarakat digital savvy, 5 di antaranya pernah dihubungi oknum kejahatan siber, dan 1 dari 5 anggota masyarakat digital savvy tersebut teperdaya memberikan data pribadi melalui WhatsApp call, link, website, dan akun media sosial palsu.