Membangun Strategi Bisnis di Masa Transisi New Normal
Pandemi Covid-19 bukan hanya sekadar bencana kesehatan. Meluasnya penyebaran virus corona ini menimbulkan banyak kekacauan di sektor ekonomi. Tidak hanya industri besar yang merasakan dampaknya, Industri berskala kecil menjadi lini usaha yang paling terdampak.
Aturan physical distancing dan penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mengubah banyak perilaku konsumsi masyarakat. Teknologi digital menjadi sangat diandalkan. Semuanya dimulai dilakukan serba online, mulai dari pemesanan makanan, berkomunikasi, membeli barang, dan sebagainya.
Baca juga : 3 Strategi Bisnis UKM Agar Dapat Bersaing di Masa Pandemi
Di sisi lain, pelaku bisnis bisa memanfaatkan peluang ini untuk membangun usahanya kembali. Namun untuk masuk ke dalam platform digital ini perlu strategi bisnis dan pemahaman yang lengkap. Pasalnya, era digital ini akan sangat ditentukan oleh seberapa lincah pelaku bisnis mengemas produk agar bisa diterima konsumen.
CEO ATC Digital Frans Budi Pranata mengatakan, ada tiga hal yang harus dipahami oleh pelaku bisnis yang ingin masuk ke dalam bisnis digital. “Pertama kita harus punya produk atau jasa. Kedua, kita harus memiliki traffic, di mana produk kita itu bisa dilihat oleh banyak orang. Ketiga adalah konversi, yaitu bagaimana dari orang yang melhat sekian banyak itu berapa persen yang bisa membeli,” katanya dalam acara webinar SHARE.INC berjudul GOOD – Go Online Or Die (20/6/2020).
Baca juga : 5 Strategi Bisnis yang Perlu Diketahui Social Entrepreneur
Frans secara lebih detail menjelaskan, yang dimaksud dengan produk adalah segala sesuatu yang ditawarkan di berbagai platform seperti marketplace atau media sosial dan bisa dibeli oleh konsumen. Produk ini tidak hanya sebatas bentuk fisik atau barang, tetapi juga meliputi jasa.
Traffic menunjukkan seberapa banyak orang yang mengunjungi website di mana Anda memasarkan barang dan jasa. Sedangkan konversi adalah seberapa banyak orang yang berkunjung ke website Anda dan melakukan transaksi atau belanja yang kemudian menjadi klien.
“Contohnya kalau di Alibaba itu dari 100 juta orang yang berkunjung, larinya 6 persen belanja. Artinya 6 juta orang dikali misalnya 10 dolar menjadi 60 juta dolar per harinya. Kalau Amazon itu 8 persen karena di situ ada 1 miliar barang itu mereka mengirim 100 juta barang per jamnya. Kalau di Zalora Lazada itu pengunjung itu jutaan dan konversinya itu 3-4 persen,” ungkap Frans.
Baca juga : 5 Strategi Bisnis Selama Wabah Covid 19
Jika dahulu dalam pemasaran produk dikenal dengan istilah marketing mix terdiri dari product, place, price, dan promotion. Namun di era digital saat ini berubah menjadi SAVE yang merupakan singkatan dari solution, access, value, dan education. Artinya, saat ini sudah tidak lagi menjual produk, tetapi beralih pada konsep menjual solusi.
“Solusi kita itu bisa diakses di website, Instagram, Facebook, dan sebagainya. Kemudian kita memberikan value, bukan lagi membicarakan harga tetapi value apa yang bisa kita berikan, seperti dalam bentuk promo diskon, atau free ongkir. Tidak ada lagi istilah promosi, tetapi adalah edukasi berupa konten atau copy writing karena umumnya tidak ada orang yang senang dijualin,” terang Frans.
Baca juga : 4 Strategi Brand dalam Menghadapi Dampak Covid-19
Semua itu harus dikemas dalam sebuah platform baik berupa konten yang menarik dan membuat penasaran konsumen. Konten tersebut juga harus di-create bukan hanya bisa manarik konsumen, tetapi harus di tempat yang tepat dan waktu yang tepat pula.