Perlu UU Fintech untuk Mengatur Bisnis Pinjaman Online

Perlu UU Fintech untuk Mengatur Bisnis Pinjaman Online

Maraknya bisnis fintech peer to peer (P2P) lending ilegal memberi dampak semakin banyaknya penipuan berbasis pinjaman online. Meski selama tiga tahun terakhir jumlah korban penipuan semakin menurun, namun jumlah fintech P2P lending ilegal justru meningkat.

Saat ini ada sekitar 1.477 fintech ilegal yang masih beroperasi, sedangkan hanya 127 fintech yang sudah memiliki izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Meskipun tren korbannya semakin menurun dalam dua tahun terakhir ini, tetap saja kemunculan fintech ilegal bisa menjadi sarana baru untuk melakukan tindak kejahatan lainnnya.

Bukan hanya penipuan, tindak kejahatan dari kegiatan fintech P2P lending ilegal juga bisa menjadi sarana penyalutan aksi terorisme. Hal itu disampaikan Kanit Tipideksus Bareskrim Polri Kompol Setyo Bimo Anggoro dalam acara IndoSterling Forum (ISF) di Conclave Wijaya, Jakarta (16/10/2019).

Baca juga : Agar Aman, Nasabah Fintech Butuh Perlindungan Data Pribadi

Bimo menilai, aksi pengiriman dana untuk tidak kejahatan seperti terorisme terus berkembang dan selalu memanfaatkan peluang baru yang bisa dijadikan sarana pengiriman dana. Bukan hanya pendanaan terorisme, kemunculan fintech ilegal ini juga bisa dijadikan media untuk kegiatan pencucian uang (money laundering).

Memang Polri belum menemukan indikasi penggunaan sarana fintech untuk pendanaan kejahatan seperti penyaluran dana terorisme atau pencucian uang, tetapi bisa saja fasilitas tersebut dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan. “Macam-macam modusnya. Dulu dikirim via kurir, kemudian lewat kapal jasa pengiriman. Nah, sekarang ada teknologi pengiriman uang sehingga tidak menutup kemungkinan dilakukan melalui fasilitas yang ada di fintech ilegal,” ucapnya.

Salah satu upaya untuk bisa mencegah terhadinya tindakan kejahatan yang dilakukan melalui fintech ilegal ini adalah dengan membuat aturan hukumnya. Perlu adanya landasan hukum yang setara dengan Undang-Undang seperti UU Fintech.


Diakuinya, selama ini regulasi untuk mengatasi masalah di sektor fintech ini masih masih belum terintegrasi. Regulasinya masih terpecah-pecah antar-kementerian dan lembaga. Sebagai contoh, untuk izin perusahaan ke Kemenkumham, aplikasinya ke Kemenkominfo, kegiatan bisnis ke Otoritas Jasa Keuangan, dan aplikasinya lewat Google.

Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L. Tobing mengakui, sampai saat ini belum ada UU yang mengatur mengenai fintech ini. Begitu pula dengan aturan perlindungan data konsumen yang masih dalam tatanan Rancangan Undang-Undang (RUU).

Berbeda dengan perbankan yang memiliki Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 (Undang-Undang Perbankan) dan Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Undang-Undang Perbankan Syariah).

“Sementara di fintech ini belum ada Undang-Undangnya. Kita ingin sebenarnya fintech ini ada tata aturan yang tertata rapi sehingga jika ada pelanggaran akan bisa dikenakan sesuai dengan UU yang berlaku seperti UU Pidana atau UU ITE,” ucap Tongam.

Baca juga : Kenapa Masih Banyak Orang yang Terjerat Pinjaman Online Ilegal?

Selama ini industri fintech P2P lending masih diatur oleh Peraturan OJK (POJK) Nomor 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Aturan ini dianggap belum bisa menindak fintech ilegal yang belum terdaftar di OJK. Padahal, mereka kerap menetapkan bunga tinggi dan melakukan penagihan yang tidak etis ke peminjam.

Akibatnya, kepolisian tidak bisa menindak pelaku fintech ilegal karena secara hukum kurang memadai. Maka dari itu, masyarakat diminta untuk mengajukan pinjaman ke fintech legal, dan bila ingin menyelesaikan sengketa bisa difasilitasi oleh OJK. Jika terkait fintech ilegal, bisa melapor ke Satgas Waspada Investasi.


Ichwan Hasanudin
ichwan.hasanudin
Oct. 18, 2019, 10:48 a.m.

Comments

Please log in to leave a comment.