Kenapa Masih Banyak Orang yang Terjerat Pinjaman Online Ilegal?
Perkembangan teknologi dan pertumbuhan ekonomi digital mendorong munculnya berbagai platform baru dalam bisnis penyedia jasa keuangan. Salah satunya yang cukup menjadi banyak pemberitaan dalam lima tahun terakhir ini adalah produk jasa keuangan yaitu financial technology (fintech). Di Otoritas Jasa Keuangan (OJK), fintech dibagi menjadi dua, yakni pinjaman peer to peer (P2P) lending dan equity crowdfunding.
Pada dasarnya, kemunculan fintech P2P lending ini adalah baik, yaitu untuk menjembatani kebutuhan dana masyarakat yang tidak bisa terlayani oleh institusi formal seperti perbankan. “Tujuannya adalah bagaimana masyarakat yang tidak bisa mengakses layanan keuangan formal masuk ke sistem ini,” kata Ketua Satgas Waspada Investasi OJK Tongam L. Tobing dalam acara IndoSterling Forum (ISF) di Conclave Coworking, Jalan Wijaya I, Jakarta (16/10/2019).
Baca juga : Perlu UU Fintech untuk Mengatur Bisnis Pinjaman Online
Namun seiring perkembangannya, banyak fintech P2P lending ini yang melakukan aktivitasnya secara ilegal. Dikatakan demikian karena fintech tersebut tidak memiliki izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Selain itu, dalam menjalankan bisnis seperti penagihan pinjanan, fintech ilegal ini kerap menggunakan cara-cara yang merugikan seperti bunga yang tinggi, intimidasi, kekerasan dan ada indikasi pelecehan seksual.
Berbeda dengan fintech legal, di mana ada penerapan skoring untuk konsumen yang mengajukan pinjaman. Dengan skoring itu, tidak semua pengajuan pinjaman disetujui. “Kalau kita bicara mengenai fintech yang ilegal saat ini ada sekitar 1.477 fintech dan yang legal atau sudah terdaftar sekitar 127 fintech,” terang Tongam.
Lantas, mengapa masih ada saja yang terjerat pinjaman online ilegal? Tongam menuturkan, ada beberapa indikator penyebab masih banyaknya orang yang menggunakan pinjaman online. Pertama, kecenderungan perilaku masyarakat yang bisa dikatakan “pemakan” utang. Banyak konsumen yang melakukannya atas dasar keinginan bukan kebutuhan.
“Buktinya, setiap ada kesempatan apalagi dengan perkembangan medsos saat ini yang memberi banyak pengaruh. Jadi pola hidup masyarakat kita saat ini kecenderungannya meminjam kalau dia tidak punya, tapi tidak dibutuhkan,” ucap Ketua Satgas Waspada Investasi ini.
Kemudian pada tingkat kondisi masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari masih adanya indikasi debitur yang memang punya sifat buruk, di mana sudah tahu tidak punya kemampuan tetapi tetap meminjam dana dari pinjaman online ilegal.
Tongam menceritakan, ada kasus debitur yang memiliki utang dari 140 fintech P2P lending yang nilainya sudah ratusan juta rupiah. Hal itu dilakukan karena pinjaman itu digunakan untuk menutupi pinjaman online lain. Bahkan bukan lagi “gali lubang tutup lubang” tetapi “gali lubang dan gali lubang”, di mana utang pinjaman online semakin menumpuk dan tidak mampu membayar.
Maka tidak mengherankan bila kondisi seperti ini menjadi masalah sosial yang baru. Kemampuan hidup yang rendah tidak seimbang dengan kebutuhan. Padahal, pinjaman yang dilakukan sebenarnya kecil, namun itu terakumulasi terus menerus.
Baca juga : Ini Jenis Keluhan Konsumen Soal Pinjaman Online Ilegal
Tongam mengakui, ada dugaan fintech P2P lending ilegal ini adalah sindikat. “Ini sindikat. Pada saat mereka (konsumen) yang tidak sanggup bayar, akhirnya fintech ilegal ini menyarankan mengambil pinjaman di fintech lainnya, dan begitu seterusnya,” tuturnya.
Hal yang dilakukan oleh fintech ilegal adalah meminta akses semua kontak yang dimiliki konsumen. Inilah yang digunakan oleh fintech ilegal sebagai teror, intimidasi, kekerasan psikis, hingga pelecehan seksual. “Makanya jika ingin meminjam, pinjamlah pada fintech yang legal, karena fintech legal hanya bisa mengakses tiga hal, yaitu lokasi, suara, dan kamera. Tidak ada permintaan kontak dan inilah yang dijadikan teror oleh fintech ilegal,” tambah Tongam.