Agar Aman, Nasabah Fintech Butuh Perlindungan Data Pribadi

Agar Aman, Nasabah Fintech Butuh Perlindungan Data Pribadi

Perkembangan industri financial technology (fintech) punya dampak luas dalam upaya memperluas inklusi keuangan. Selain itu, kehadiran fintech juga berpotensi untuk memperluas transaksi keuangan bagi individu yang belum memiliki rekening bank (unbanked). Bahkan fintech juga mampu menjembatani individu yang belum memiliki akses dan fasilitas pinjaman bank (underbanked).

Selain dampak positif, kehadiran fintech juga memunculkan masalah lain, yaitu terkait perlindungan data pribadi. Penyalahgunaan data pribadi, penagihan bermasalah hingga bunga tinggi merupakan berbagai contoh persoalan yang menjadi keluhan masyarakat selaku konsumen terhadap industri ini. Memang persoalan tersebut juga disebabkan praktik fintech ilegal yang terus bermunculan meski pemblokiran telah dilakukan pemerintah.

Baca juga : Peluang dan Tantangan Perbankan di Era Digital Banking 4.0

Ketua Umum AFTECH Niki Luhur dalam acara Fintech Summit 2019 menjelaskan, perlindungan data konsumen menjadi salah satu perhatian utama para pelaku fintech dan pemerintah. Hal itu mengingat banyak fintech yang mengandalkan data konsumen untuk melakukan transkasi. Untuk itu, diperlukan peraturan yang tegas dan jelas mengenai pengelolaan, penggunaan, dan perlindungan data konsumen.

“Perlu ada kerja sama antar-industri untuk memberi perlindungan kepada konsumen dari kegiatan ilegal seperti penipuan (fraud) dan kejahatan siber (cyber crime),” katanya dalam acara Fintech Summit 2019 di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta.

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menilai, maraknya penyalahgunaan data pribadi dalam industri fintech karena masih belum disahkannya UU Perlindungan Data Pribadi. Dengan molornya pengesahan RUU ini berarti ada kekosongan regulasi untuk melindungi data pribadi konsumen dan celah ini yang dimanfaatkan oleh fintech ilegal.


Dalam sektor jasa keuangan, pengaturan data pribadi konsumen fintech memang belum memiliki dasar hukum. Berbeda dengan sektor perbankan, asuransi, perpajakan, dan pasar modal, yang sudah diatur dalam undang-undang mengenai data konsumen. 

Hal yang sama juga harus diberlakukan bagi fintech. Perlu ada undang-undang landasan hukum perlindungan data pribadi masyarakat. “Sangat penting perlindungan konsumen khususnya perlindungan data pribadi. Kalau ada Undang Undang Perlindungan Data Pribadi itu bisa melindungi masyarakat," jelas Wimboh ketika menjadi pembicara dalam Fintech Summit 2019.

Baca juga : Bagaimana Platform Digital Mengubah Masa Depan Indonesia?

Untuk mengisi kekosongan regulasi tersebut, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan instansi lain menunjuk asosiasi industri untuk membangun pengawasan pasar untuk memperkuat upaya perlindungan konsumen, khususnya terkait pelindungan data pribadi konsumen.

Pada 2019, Grup Inovasi Keuangan Digital (IKD) OJK mengumumkan Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) untuk mengemban tanggung jawab sebagai self-regulatory organization (SRO) dari semua fintech yang memenuhi syarat dan harus menjalani proses sandbox. Sesuai dengan mandat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 13 /POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital bahwa semua inovasi teknologi keuangan di luar pinjaman online, agen reksa dana online, dan equity crowdfunding.


Asosiasi fintech ini berkewajiban untuk mengembangkan code of conduct (kode etik) yang harus dilaksanakan oleh semua pelaku fintech yang manjadi anggota asosiasi. Kode tersebut memegang prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Pelindungan konsumen yang meliputi transparansi publik dan harga, penawaran layanan atau metode produk yang bertanggung jawab, penyebaran informasi terkait risiko, penanganan keluhan dan standar sistem manajemen,serta prinsip itikad baik berdasarkan kepentingan semua pihak.

2. Mitigasi dan manajemen risiko.

3. Tata Kelola perusahaan yang baik.

4. Anti pencucian uang dan pendanaan terorisme.

Baca juga : Mengenal Fintech Equity Crowdfunding, Metode Urun Dana Kepemilikan Usaha

Kemudian, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) secara resmi menunjuk Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) untuk menjadi penghubung dengan pelaku fintech P2P Lending. Untuk mengatur pelaku fintech tersebut, AFPI membuat kode etik yang mengacu para tiga prinsip dasar, yaitu:

1. Transparansi produk dan menawarkan layanan metode produk.

2. Pencegahan pinjaman yang berlebihan.

3. prinsip itikad baik berdasarkan kepentingan semua pihak.

Sementara itu, Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI) juga sedang dalam proses menyelesaikan penunjukkan self-regulatory organization (SRO) sebagai asosiasi payung untuk fintech yang menganut prinsip syariah.


Ichwan Hasanudin
ichwan.hasanudin
Sept. 26, 2019, 1:34 p.m.

Comments

Please log in to leave a comment.