DANA Dorong Sinergi Fintech dengan Perbankan
Saat ini, Pemerintah dan Bank Indonesia gencar
mengkampanyekan Gerakan Nasional Transaksi Non-Tunai (GNTT). Kampanye ini
bertujuan meningkatkan kesadaran masyarakat, pelaku bisnis, serta lembaga
pemerintah untuk menggunakan pembayaran non-tunai sehingga terbentuk less-cash society dalam transaksi
ekonomi.
Transaksi non-tunai juga diyakini lebih aman dan nyaman.
Prosesnya pun lebih cepat sehingga perputaran ekonomi bisa melaju lebih
kencang. Selain itu, transaksi non-tunai juga dapat mengurangi peredaran dan
penggunaan uang kartal, sehingga dapat menghemat biaya produksi, distribusi
uang, dan lebih efisien. Salah satunya adalah aplikasi dompet digital DANA.
CEO DANA Vincent Iswara menilai, penggunaan aplikasi fintech oleh pengguna smartphone dapat menjadi jawaban atas
upaya pemerintah membangun less-cash
society. Alasannya, penetrasi smartphone
di Indonesia sudah melebihi penetrasi akun bank di Indonesia. Namun, di sisi
lain layanan perbankan belum merata karena sebagian besar masih terfokus di
Pulau Jawa.
“Kolaborasi antara perbankan dengan fintech dapat menjadi solusi dalam meningkatkan literasi dan inklusi keuangan di Indonesia,” kata Vincent dalam Seminar Kolaborasi Industri Perbankan dan Fintech dalam Sistem Pembayaran di Ayana MidPlaza Hotel, Jakarta, Kamis (21/2/2019).
Vincent merujuk data yang dilansir dari Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) dalam Laporan Profil Industri Perbankan Triwulan II-2018 yang
menunjukkan, sebaran kantor bank umum konvensional sebagian besar berada di
Pulau Jawa, yakni sebanyak 63,27 persen, diikuti Sumatera sebanyak 16,61 persen,
Sulampua (Sulawesi, Maluku, dan Papua) sebanyak 8,38 persen, Kalimantan
sebanyak 6,48 persen, serta Bali-NTB-NTT sebanyak 5,26 persen.
Perkembangan fintech
yang masif berjalan selaras dengan besarnya jumlah pengguna smartphone di Indonesia yang mencapai
100 juta lebih. Alhasil, penetrasi fintech
mulai mendisrupsi industri keuangan, termasuk perbankan. Sementara itu, dalam
catatan BI dan hasil survei PricewaterhouseCoopers (PwC), disrupsi oleh fintech paling tinggi terjadi di sektor
pembayaran (payment) yang mencapai 84
persen. Kemudian disusul transfer dana (68 persen), personal finance (60 persen), pinjaman personal (56 persen),
tabungan (49 persen), asuransi (38 persen), dan wealth management (38 persen).
Baca juga: Untung Rugi Menggunakan Uang Elektronik
Menurut Vincent, kolaborasi antara perbankan dan fintech seperti DANA yang menyediakan
infrastruktur pembayaran dan transaksi keuangan digital memungkinkan masyarakat
Indonesia untuk bertransaksi non-tunai
dengan mudah, nyaman, dan terjamin keamanannya.
“DANA juga menyediakan fitur yang memungkinkan pengguna
menghubungkan kartu debit dan kartu kreditnya ke dalam aplikasi DANA sehingga
mereka dapat bertransaksi secara non-tunai
dan non-kartu secara aman dan lebih efisien, tanpa terkendala batas saldo DANA
dalam aplikasi mereka. Ini adalah salah satu bukti nyata kolaborasi yang
menguntungkan bagi perbankan dan fintech,
serta masyarakat sebagai pengguna,” papar Vincent.
Dalam seminar ini dijelaskan bahwa disrupsi dari fintech, khususnya di sektor sistem pembayaran, sebenarnya membuka peluang bagi bank dan fintech untuk berkolaborasi. Kolaborasi akan membuat ekosistem yang dibangun lebih luas dan berhasil mendorong inklusi keuangan.
Sementara dari sisi regulasi, peran BI sebagai regulator
dibutuhkan untuk menyusun peta jalan agar sinergi dan kolaborasi bank dan fintech, khususnya dalam sistem
pembayaran ini, bisa menguntungkan semua pihak. Sinergi dan kolaborasi menjadi
kebutuhan di era Revolusi Industri 4.0 sekarang ini.
Deputi Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank
Indonesia Susiati Dewi menilai, kemunculan fintech
sangat bagus karena dalam industry ada celah-celah yang mungkin selama ini agak
sulit diberikan dalam pelayanan dari pelaku perbankan. Namun, pihaknya melihat
inovasi tersebut juga harus seimbang di mana kolaborasi antara fintech dan perbankan juga harus
sama-sama memiliki revenue yang sama.
Baca juga: 6 Hal Penting yang Harus Diketahui Pengguna Mobile Banking
Susiati menambahkan, sebagai regulator, Bank Indonesia juga
harus memastikan bahwa konsumen juga harus dilindungi dengan memitigasi risiko.
Untuk itu, pihaknya akan diperlakukan sama dengan perbankan. “Regulasinya,
begitu fintech, kita mengatur fintech itu terdaftar, tetapi begitu
kita identifikasi itu adalah layanan payment
system yang sebagaimana telah diatur dalam kriteria penyelenggara sistem
keuangan maka mereka harus berizin. Perlakuannya akan sama baik bank dan non-bank,”
ucapnya.
Bagaimana pun perubahan yang cukup signifikan dengan produk
dan kelembagaan termasuk produk fintech
harus dilakukan proses untuk diberi lisensi baru. Sama halnya dengan uang
elektronik yang bersinergi dengan perbankan untuk menjadi yang lebih baik.
“Harus proper dan mutual antara bank dengan fintech-nya. Jadi bukannya dibuka tetapi
kita tidak mengatur kondisi mutualisme itu,” tambah Susiati.