Mengenal Bahaya “Latte Factor” dalam Pengelolaan Keuangan
Pernah dengar istilah latte
factor? Mungkin sebagian orang
mengaitkan istilah ini dengan kopi. Tidak salah karena pencetusnya, David Bach
menggunakan istilah latte factor ini
merujuk pada kebiasaan orang-orang yang menghabiskan penghasilannya dari
hal-hal kecil yang dilakukan setiap hari. Salah satu contohnya adalah kebiasaan
mengonsumsi kopi setiap hari.
Dalam laman resminya davidbach.com (13/2/2019),
penulis buku The Latte Factor ini
menyebut, latte factor sebenarnya bukan
hanya dipahami sebagai latte saja. Latte factor terkait pengeluaran rutin
yang dilakukan setiap hari, meski nilainya kecil, jika dikalkulasikan dalam periode tertentu, ternyata nilainya cukup besar. Totalnya mungkin bisa melebihi
biaya listrik atau air.
Sebagai contoh, jika setiap pagi Anda punya kebiasaan
mengonsumsi kopi senilai Rp15.000, maka dalam sebulan Anda akan menghabiskan
uang sebesar Rp450.000 hanya untuk secangkir kopi. Namun, gambaran ini bukan
berarti larangan untuk minum kopi. Kebiasaan ini bisa diminimalisir dengan
membeli bubuk kopi dan menyeduhnya sendiri.
Istilah ini semakin berkembang dan belakangan ini sering dikaitkan dengan berbagai kebiasaan konsumsi lainnya. Bukan hanya mengonsumsi kopi, latte factor berkembang pada pola pengeluaran kecil lainnya seperti membeli air mineral kemasan, belanja camilan, transportasi online, hingga biaya transfer antar bank.
Ada sebuah survei internal yang dilakukan Permata Bank pada
2017 terkait latte factor ini. Hasil
survei ini menunjukkan 9 dari 10 orang menghabiskan uang lebih dari Rp900.000
untuk latte factor. Sebanyak 58
persen responden menggelontorkan uang untuk kebutuhan sekunder seperti lipstik,
sepatu, baju, menambah koleksi, tas, syal, aksesori, dan lainnya.
Kemudian sebanyak 11 persen responden mengeluarkan biaya untuk membeli makanan dan minuman ringan serta sembilan persen responden mengeluarkan biaya untuk kebiasaan mengonsumsi kopi. Ada pula pengeluaran latte factor lainnya seperti membeli air mineral, rokok, hingga biaya administrasi perbankan.
Fenomena gaya hidup latte
factor ini bisa berbahaya bagi pengelolaan keuangan. Terlebih bila
dilakukan secara terus menerus. Pola keuangan akan terganggu di mana jumlah
pengeluaran akan lebih besar daripada penghasilan yang diperoleh setiap
bulannya. Artinya, bisa saja porsi dana untuk menabung atau investasi menjadi
terganggu.
Dikutip dari wanitaindonesia.co.id
(24/5/2018), Founder & Financial Planner Tata Dana Consulting Tejasari menjelaskan
latte factor terjadi karena disebabkan
adanya kebiasaan dari gaya hidup tertentu yang membuat seseorang menjadi rutin
melakukan pengeluaran tersebut. Akibat dari kebiasaan tersebut, tanpa disadari
pengeluaran bulanan akan semakin besar dan tidak ada sisa untuk menabung.
Bahaya lebih lanjutnya adalah bila kebiasaan ini sudah mulai menggunakan kartu kredit. Jumlah cicilan yang harus dibayarkan akan semakin membengkak setiap bulannya. “Bila pembayaran untuk memenuhi latte factor tersebut menggunakan kartu kredit di mana terdapat bunga di dalamnya,” kata Tejasari.
Baca juga: Tipe Gaya Belanja Manakah Anda?
Dalam laman permatabank.com,
Direktur Retail Banking Permata Bank Bianto Surodjo mengatakan, mengubah
kebiasaan konsumtif menjadi hemat adalah tantangan yang berat. Namun, hal
tersebut bukanlah alasan. “Harus di mulai dari hal-hal kecil di dalam
hidup kita,” ucapnya.
Bianto menegaskan, hal itu bukan berarti Anda harus menjadi
super pelit atau super irit hingga pada akhirnya membuat Anda tidak bisa lagi
menikmati hidup. Namun, yang harus dilakukan adalah lebih bijak dalam
membuat keputusan bertransaksi, agar uang hasil usaha dan keringat kita tidak
terbuang sia-sia.